[Resensi "Hujan Pertama untuk Aysila"] Sudikah Engkau Menungguku Seperti Aysila?






[BLURB]
Suara kecil dari balik jendela kafe yang terkuak di sebelah kursi Aysila itu terdengar lamat. Nyaris punah ditelan bising hujan. Suara yang amat dikenal Aysila dengan baik, yang begitu karib dengan hari-harinya.

Setelah diam beberapa jenak untuk berpikir, Aysila menjulurkan kedua lengannya ke luar jendela, memenuhi pinta suara yang lirih itu. Ia biarkan tubuhnya ditarik dari luar dan hinggap sempurna dalam pelukan tubuh yang hangat itu.

Hujan kian mengendur. Hujan kian menyusut. Tapi tidak dengan sepasang kelopak mata Aysila yang katup. Air hangat yang gtak lagi sanggup dibendung tanggul hatinya yang kian nganga dibabat luka begitu deras menetas di pematang matanya. Berjatuhan ke pipinya, lalu sebagiannya hinggap ke dagu dan lehernya, dan sebagian lainnya jatuh ke tanah, larut bersama air hujan, kemudian lesat entah ke mana.
***
Inilah kumpulan cerpen terbaru Edi AH Iyubenu (Edi Akhiles) yang sebagiannya telah dipublikasikan di media massa seperti Horison, suara Merdeka, dll.
***
Judul            : Hujan Pertama untuk Aysila
Penulis         : Edi AH Iyubenu
Penerbit       : Diva Press
Cetakan        : I/ Maret 2015
Dimensi        : 13 x 19 cm
Tebal            : 184 halaman
Kertas          : Bookpaper, Soft cover
ISBN            : 978-602-7695-88-7
Harga           : Rp 35.000,-

Buku kumpulan cerpen ini merupakan buku kumpulan cerpen ketiga yang ditulis oleh Edi AH Iyubenu, setelah dua bukunya Ojung (2000) dan Penjaja Cerita Cinta (2014). Namun berbeda dari kumpulan cerpen sebelumnya. Jika pada buku Penjaja Cerita Cinta kita akan menemui keberagaman tema setiap cerpennya, pada buku Hujan Pertama untuk Aysila ini hampir semua cerpen memiliki tema yang sama: kesetiaan dan penantian.

Tokoh sentral pada kebanyakan cerpen dalam buku ini bernama Aysila Dilara. Namun Aysila dalam cerpen yang satu dengan cerpen yang lain berbeda.

“Tentu, sebagai sebuah cerpen, penggunaan nama Aysila dalam banyak cerita sama sekali tidak terkait antara satu dengan yang lainnya; mulai karakter, alur, hingga konflinya,” tutur penulis dalam pengantar buku ini. (hal. 13)

Cerpen pembuka sekaligus menjadi judul dari buku ini adalah “Hujan Pertama untuk Aysila”. Sebenarnya cerpen ini sejenis dengan cerpen kedua, “Kue Tart yang Setia Dijaganya”. Kedua cerpen ini sama-sama mengisahkan tokoh Aysila dengan kesetiaannya menunggu kekasih yang amat ia cintai. Namun dari beberapa segi, kedua cerpen ini berbeda.

Pada cerpen pertama, tokoh Aysila menanti seorang lelaki bernama Pamuk yang pergi dari pelukannya meninggalkan sebuah janji. Janji yang terus ia ingat, janji yang terus ia nanti, bahwa Pamuk akan kembali menemuinya di tempat yang sama ketika tetes hujan pertama menyentuh tanah. Cerpen pembuka yang mengharu biru. Penulis sangat piawai memainkan emosi pembaca dengan diksi yang lembut dan alur yang mengalir hingga bagian akhir. Pada bagian inilah embun akan mengintip dari mata para pembaca.

Cerpen “Kue Tart yang Setia Dijaganya” juga mengisahkan tokoh Aysila Dilara yang menanti seseorang bernama Akhiles untuk datang ke apartmennya. Konflik batin yang dialami Akhiles pasti akan membuat pembaca –terutama kaum perempuan, ‘gemas’ kepada lelaki seperti dia.

Selanjutnya, cerpen berjudul “Madame Tussaud”, “Menangkap Nawang Wulan”, dan “Tukang Cerita yang Tak Lagi Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya”. Ketiga cerpen ini menceritakan kembali kisah yang sudah ada. Namun penulis mengemasnya dalam bingkai yang berbeda (ala Edi AH Iyubenu) dengan tema yang sama, yaitu penantian. Dalam cerpen “Menangkap Nawan Wulan”, saya berpikir bahwa penulis ingin menyampaikan persepsi nakalnya tentang tabiat asli Dewi Nawang Wulan. Berbeda lagi dengan cerpen “Madame Tussaud”, cerpen ini mengangkat sejarah pada era revolusi Prancis yang mengisahkan kesengsaraan seorang anak pemahat lilin yang menjalani hidup mewah di istana namun berakhir tragis. Cerpen ini sukses membuat saya bergidik ngeri dari awal hingga akhir.

Lalu pada cerpen “Tukang Cerita yang Tak Lagi Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya” penulis mengisahkan sisi lain dari cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari. Tokoh, alur, dan sudut pandang dalam cerpen ini berbeda dari novel tersebut. Penulis menyajikannya secara modern dan dari sudut pandang tokoh utama yang menggilai Srintil, sang penari ronggeng dari Dukuh Paruk.

Berikutnya “Orang-Orang yang Mengganti Hatinya dengan Batu” dan “Cara Mudah untuk Bahagia”. Dua cerpen yang menurut saya tidak menyimpan unsur penantian di dalamnya. Terutama cerpen “Orang-Orang yang Mengganti Hatinya dengan Batu” merupakan cerpen paling nyeleneh dalam buku ini. Cerpen satire ini mungkin penulis maksudkan untuk menampar nurani para penegak hukum di negara ini setelah konflik antar institusi beberapa waktu lalu. Berbeda dengan cerpen “Cara Mudah untuk Bahagia”, cerpen ini memuat pergulatan argumentasi tentang cara menikmati hidup dengan paduan diksi tingkat tinggi. Bagi pembaca yang tidak mengakrabi filsafat, saya dapat membayangkan dahi pembaca akan terlipat ketika membaca cerpen ini.

“Cerita Kesetiaan Gadis Berponi Curly” adalah cerpen favorit saya. Cerpen ini berisi dialog antara seorang lelaki dengan kekasihnya di sebuah kafe. Konflik yang disajikan begitu dekat dengan realita yang dialami mayoritas laki-laki. Alur yang mengalir dan penuturan yang tidak berbelit-belit membuat pembaca merasakan berada dalam posisi tokoh. Salut.

Terakhir, cerpen “Seekor Elang di Orchad”, “Lelaki yang Menciumi Jendelanya”, “Kutunggu Kamu di Hagia Sophia”, dan “Lelaki yang Penuh Kenangan”. Keempat cerpen tersebut menceritakan kesetiaan seorang lelaki menunggu wanitanya. Cerpen yang disebutkan terakhir merupakan cerpen paling panjang dalam buku ini. Memiliki banyak segmen cerita, alur yang maju-mundur, konflik yang jamak, namun diksi yang ringan membuat pembaca tidak merasa bosan.

Lalu cerpen “Seekor Elang di Orchad” menceritakan seorang lelaki yang begitu benci pada keadaannya yang berada jauh dari kekasihnya, Aysila Dilara. Konflik batin yang dialami tokoh bergolak ketika keadaan di sekitarnya malah membuatnya semakin tidak betah.

Hatiku seketika hambar. Sesak! Dadaku gerah. Beberapa pasang kekasih berlintasan di depanku yang mematung di sebelah pintu masuk Takashimaya Mall. (hal. 89)

Buku kumpulan cerpen karya Edi AH Iyubenu ini benar-benar ditulis dengan kekayaan pengetahuan yang dimilikinya. Pengalaman menjelajahi negara-negara Eropa dan Asia ia tuangkan dalam cerita-cerita yang menggugah. Suasana yang begitu nyata dan konflik yang dekat dengan realita merupakan nilai plus buku ini. Lalu setelah membacanya, pembaca seakan terbayang seperti apakah tokoh Aysila di dunia nyata? Adakah sosok Aysila di sekitar kita atau mungkin pasangan kitalah Aysila itu. Entah. Yang terpenting jangan membuatnya menunggu lebih lama. Siapa tahu dia bukan Aysila.

* Resensi ini menjadi juara pada lomba menulis resensi Hujan Pertama untuk Aysila yang diadakan oleh Sadeyanbuku.com

[Resensi "Matryoshka"] Pulanglah, Yulya...



[BLURB]
 “Kamu ingin gambar apa di atas sana?”
“Bintang!” seru gadis cilik itu riang.
“Lalu..., angsa.”
“Kenapa angsa?”
“Mmm..., karena..., karena angsa membantu Tereska kembali pada ayah dan ibunya. Aku..., aku tidak tahu, tapi mungkin angsa bisa membantuku kembali pada Yulya.”

Tujuh tahun berlalu setelah Yulya meninggalkanku dan pulang ke Rusia, tiba-tiba sebuah surat sampai padaku. Ia mengundangku untuk datang ke negerinya pada tanggal tujuh Agustus, tepat pada hari ulang tahun kami. Ia akan menunggu di bawah patung The Bronze Horseman membawa sebuah balon berwarna merah.

Pada hari yang ditentukan, hey, siapa yang kutemui di sana? Seorang bocah berusia tujuh tahun? Siapa anak ini? Ia membawa banyak surat dari Yulya untukku dan aku harus mendengarnya membaca surat setiap pagi. Yulya pikir, aku betah tinggal lama-lama dengannya? Yulya, aku datang jauh-jauh untuk bertemu denganmu. Di mana kau? Jangan biarkan aku dan anak kecil ini gila karenamu.



  ***

Judul            : Matryoshka: Kapan Kau akan Kembali Yulya?
Penulis         : Ghyna Amanda Putri
Penerbit       : De Teens (Diva Press Group)
Cetakan        : I/ Desember 2013
Dimensi        : 13 x 19,2 cm
Tebal            : 332 halaman
ISBN            : 978-602-255-414-1

Kapan Yulya akan kembali?

Pertanyaan itu sepertinya hanya bisa dijawab oleh Yulya sendiri. Bagaimana tidak, Yulya Bolotova, gadis Rusia-Indo yang begitu cantik dan sangat dicintai oleh laki-laki pribumi bernama Virgo itu, tiba-tiba menghilang. Lenyap tanpa “selamat tinggal” ataupun “sampai jumpa”.

Dalam novel ini, Ghyna Amanda Putri tidak hanya mengajak pembaca menerka-nerka kapankah Yulya si gadis misterius itu akan kembali, namun juga ke mana dan mengapa ia pergi. Semua itu akan terjawab perlahan dan mengalir dalam cerita yang menyentuh. Cerita tentang pengorbanan Virgo mencari keberadaan Yulya di negara kelahiran gadis yang ia cintai tersebut, Rusia.

Awalnya Virgo hanya menerima sebuah surat dari Yulya. Yulya mengundangnya untuk bertemu di hari spesial mereka, hari ulang tahun keduanya yang sama, tujuh Agustus. Virgo yang sudah lama merindukan Yulya pun tentu setuju. Dia mengorbankan seluruh gajinya untuk membeli tiket pesawat dan biaya hidup selama di Rusia. Memang sangat mahal, tapi itulah cinta.

Banyak hal yang ia persiapkan untuk pertemuan itu. Rindu yang telah memuncaki akal sehatnya membuat Virgo banyak berangan tentang bagaimana nanti pertemuannya dengan Yulya. Namun, angan itu tidak pernah terjadi. Yang dia temui di Rusia bukanlah Yulya. Melainkan gadis kecil berusia tujuh tahun yang sangat mirip dengan Yulya. Benar-benar mirip.

Gadis kecil itu memperkenalkan diri bernama Yulenka. Namun hubungannya dengan Yulya dia sendiri pun tidak tahu. Yang ia tahu bahwa selama ini ia tinggal bersama Yulya, lalu Yulya tiba-tiba menghilang. Itu saja. Yulenka juga hanya bisa berbahasa Indonesia. Ia sama sekali tidak mengerti bahasa Rusia. Itu membuatnya sangat bergantung pada Virgo. Hanya Virgo yang mengerti Yulenka.

Yulenka memiliki banyak surat yang ditulis oleh Yulya untuk dibacakan setiap pari selama Virgo di Rusia. Dari sinilah pembaca akan merasakan kehadiran Yulya. Dalam cerita, Yulya memang menghilang dari Virgo dan si kecil Yulenka, tapi kehadirannya bagi pembaca begitu terasa. Seorang Yulya hidup dalam surat-surat yang ditulisnya. Meskipun hanya melalui tulisan, Yulya mengajak Virgo dan Yulenka, bahkan pembaca untuk masuk ke dalam misteri yang ia buat.

Jauh-jauh datang dari Indonesia, yang ia temui hanya seorang gadis kecil dan surat-surat Yulya, tentu membuat Virgo kesal. Tapi apa yang bisa ia perbuat. Ia hanya bersabar sambil berharap Yulya segera menghentikan permainan ini. Ia berharap Yulya segera muncul dan menemuinya. Hidup bersama gadis kecil asing tentu belum pernah terbayangkan. Apalagi gadis tujuh tahun itu lebih dewasa dari usianya. Bahkan beberapa kali Virgo dibuat heran oleh tingkah Yulenka.

... Itu botol jus yang kemarin kubelikan. Yulenka masih menyisakan setengahnya, padahal kami berjalan jauh sekali dalam waktu yang cukup lama.
“Kenapa tidak dihabiskan jusnya?” tanyaku dalam bahasa yang Yulenka mengerti. Bahasa kami.
“Aku suka ini,” ucapnya pelan. Sepertinya, ia masih menyimpan takut. “Supaya tidak cepat habis, kuminum sedikit-sedikit.”  (Halaman 127)

Keduanya memiliki nasib yang sama, angan yang sama, dan Yulya yang sama. Mereka berharap semua cepat selesai dan Yulya kembali lagi pada mereka. Yulya benar-benar telah membuat keduanya gila. Virgo merasa dirinya sudah tidak sanggup lagi menunggu Yulya. Ia harus segera pulang. Yulenka, di sisi lain juga tidak punya pilihan. Selain Yulya, yang bisa ia harapkan untuk menemaninya hanyalah Virgo. Ia sangat bergantung pada Virgo. Lalu bagaimana jika Virgo pun menghilang? Apakah Yulya akan kembali setelah Virgo pergi? Apakah Yulya benar-benar akan kembali?

Sebuah celah tentang keberadaan Yulya pun perlahan terbuka. Melalui Katarina, sahabat Yulya, Virgo akhirnya tahu ke mana Yulya pergi. Sesuatu tentang “mereka”, “kantung mayat”, dan Yulenka yang meraung-raung membuat semuanya terang benderang. Kedewasaan Yulenka selama ini rupanya menyimpan sesuatu. Karena sikap dewasa itulah ia menyembunyikan hal yang sangat Virgo butuhkan selama ini.

Apakah Yulya benar-benar akan kembali?

Sebuah novel remaja yang ditulis oleh Ghyna Amanda Putri ini benar-benar meninggalkan kesan novel remaja yang selama ini melekat di benak saya. Kebanyakan novel remaja yang pernah saya baca menceritakan tentang lika-liku percintaan (sekelompok) remaja dengan ragam “tipu-tipunya”.

Novel ini kaya nilai pendidikan, persahabatan, dan tentu nilai kekeluargaan yang diciptakan ketiga tokoh utama –Virgo, Yulya, dan Yulenka dengan diwarnai kisah yang mengoyak hati. Dengan diksi yang ringan, kisah yang tidak berbelit-belit, dan tokoh pendukung yang fungsional namun tidak terlalu menonjol, penulis berhasil merangkai cerita yang menegangkan, mengharukan, dan menggemaskan sekaligus.

Rasanya, novel Matryoshka ini telah menjadi titik balik stereotipe saya tentang novel-novel remaja. Dan Yulya Bolotova adalah tokoh pertama novel remaja yang berhasil mengubahnya. Jadi, Yulya, kapan kau akan kembali?

Tentang Penulis:
Ghyna Amanda Putri, lahir dan besar di Bandung. Saat naskah Matryoshka ini dirampungkan, akhirnya ia selesai juga kuliah di salah satu universitas negeri dengan major pendidikan bahasa Jepang. Kegiatan menulisnya sendiri dimulai sejak bergabung dengan forum roleplay berbasis teks. Penyuk panda akut yang hobinya membuat gambar doodle ini sehari-harinya bergentayangan bebas lewat akun twitter @amndbrnz dan Facebook: Ghyna Amanda Putri.

Puisi "Mengusir Angin"

Mengusir Angin

           
       
                 
Aku ingin menemanimu
Memangku bulan bersamaku
Menghitung malam yang telah kita lalui
Seraya menebus rindu
yang tak mampu lagi kuobati

Aku, diriku
Selalu diam ketika desah demi desah angin mencibirku
Katanya, aku tak pantas lagi memilikimu

Aku, diriku
Selalu tertunduk saat kakiku sendiri tak mau berdiri
Katanya, berdiri sendiri saja kau susah!

Biarlah aku ini tak pantas
Biarlah kaki ini selalu mencoba mencegahku
Dalam hati, tak sesiul angin pun yang sanggup terbangkan anganku
Tak sebatang kaki pun yang goyah saat kusanding dirimu
Memangku bulan bersamaku
               
                                         Jember, 9 November 2014, 22:00 WIB

Puisi ini aku tulis untukmu, my dear Rohmah. Meski aku merasa tak pantas untukmu, aku akan selalu berusaha memantaskan diriku untukmu. Love you very much :-*