[BLURB]
Nio
Joe Lan pada tahun 1942 turut dipenjarakan oleh tentara Jepang dan buku ini
adalah suatu catatan sejarah yang sangat teliti dan berharga mengenai
pengalamannya dan kejadian dalam penawanan Jepang. Tidak banyak bekas tawanan
Jepang yang pernah menulis buku yang selengkap dan seseksama ini, namun juga
sangat menarik.
Myra
Sidharta
Pengamat budaya Tionghoa di Indonesia
-----------------------------------------------------------------------------
Judul : Dalem Tawanan Djepang
Penulis : Nio Joe Lan
Penerbit : Komunitas Bambu
Cetakan : II/ September 2008
Ukuran : 13 x 19 cm
Tebal : 356 halaman
Kertas : Bookpaper, Soft cover
ISBN : 978-3731-31-1
----------------------------------------------------------------------------
Nio
Joe Lan, sebagai seorang interneeran (tawanan perang) Jepang
menceritakan kisah hidupnya selama berada di dalam tiga penjara berbeda selama
3 tahun. Kisah-kisah dalam buku ini diurut berdasarkan tempat di mana Nio Joe
Lan dipenjara. Jadi, ada tiga bagian dalam buku ini, yang meliputi bagian “Boekit-Doeri”,
“Serang”, dan “Tjimahi”.
Ketiga
bagian tersebut ibarat fase kehidupan Nio Joe Lan sebagai seorang tawanan
perang. Di “Boekit-Doeri”, Nio Joe Lan menceritakan kisah awal ketika ia
ditangkap saat ia berada di rumahnya, hingga ketika, untuk pertama kalinya, ia
mengalami rasanya menjadi seorang tahanan.
Setelah
17 bulan di Boekit Doeri (Bukit Duri), para tawanan berikut Nio Joe Lan
dipindahkan ke penjara Serang. Di penjara ini pun tidak jauh beda. Namun
beberapa hal memang lebih baik daripada di Boekit Doeri. Genap 5 bulan
kemudian, rombongan tawanan itu kembali dipindahkan. Kamp selanjutnya adalah
Tjimahi (Cimahi). Di Tjimahi ternyata lebih nyaman daripada di dua penjara
sebelumnya. Makanan lebih layak dan mencukupi, sel yang luas, dan sebagainya.
Buku
ini ibarat buku harian Nio Joe Lan selama 3 tahun menjadi tawanan perang.
Mayoritas alur dalam buku ini berjalan maju, sebab Nio Joe Lan mengurutkan
kisahnya berdasarkan peristiwa yang terjadi hari demi hari. Tapi kadang ia
selipkan juga beberapa flashback untuk menguatkan emosi dalam ceritanya.
Nio
Joe Lan mengisahkan pengalamannya di dalam penjara dengan begitu lugas, detil,
dan terlebih lagi, menghibur. Kisah-kisah lucu di dalam penjara tidak lupa pula
ia selipkan di antara kisah-kisah memilukan layaknya kisah para tahanan perang.
Menurut saya, tidak pernah membosankan.
Sayangnya,
saya membutuhkan waktu lama untuk menamatkan buku ini. Apa pasal? Bahasa yang
digunakan bukanlah bahasa Indonesia seperti yang digunakan saat ini. Buku ini
menggunakan bahasa murni seperti yang ditulis oleh Nio Joe Lan tujuh dekade
yang lalu, bahasa Melayu Lingua Franca. Mirip dengan ejaan Van Ophuijsen, tapi
bedanya, bahasa buku ini memiliki dialek khas tionghoa. Saya kutipkan beberapa
kalimat:
“Itoe malem, sasoeda ditoetoep, dari bebrapa cel saja
denger orang njanjiken Stille Nacth, Heilig Nacth jang mengharoeken
hati. Saja tjoba bajangken, brapa banjak roemah-tangga di seloeroeh doenia di
itoe malem terbenam dalem kadoekahan, ... oleh sakean banjaknja anak-anak jang
salandjoetnja kailangan marika poenja ajah jang tertjinta.”
Andai
saja ejaannya diubah ke dalam ejaan saat ini, misal; “j” ditulis “y”, “tj”
ditulis “c”, “oe” ditulis “u”, dan sebagainya, tanpa menghubah struktur
kalimat, maka itu akan lebih baik dan mudah dibaca. Pembaca tidak perlu bekerja
dua kali; memahami bahasa sekaligus memahami jalan ceritanya.
Tapi
sebenarnya, saya akui, ini ilmu baru bagi saya pribadi. Tahap demi tahap, saya
jadi terbiasa membaca dengan ejaan lama tersebut, dengan kecepatan membaca
seperti saat membaca buku berejaan terbaru.
Buku
bagus, recommended sekali bagi para pecandu sejarah J